Ketika gelap menerjang
Kutakut tak tau pulang
Namun kau tetap datang
Malamku sayang
my way, my rules, my dreams and my story-
Di pertemuan terakhir ku, dan kamu tentunya, rasanya ada sesuatu yang belum selesai. Mungkin kah itu alasannya mengapa kamu selalu masuk kemimpi ku? Tak pernah menghampiri, namun selalu mendampingi, sampai sampai di mimpi pun sama. Pernah suatu pagi, bangun ku, rasanya ingin ku berlari menghampiri mu dan ku bilang semuanya, tapi nyatanya sudah ada batasan. Yaaa, percuma bukan, kamu berjuang mati matian di mimpi, nyatanya memang sejak awal sudah ada batasan?. Hah, lucu memang.
Kadang ku pikir sekali lagi, apa yang belum selesai? sampai-sampai serepot itu kamu masuk mimpi ku dan menjadi kan ku ragu. Ku tanya sekali lagi, tetap disetiap pertemuan seperti belum selesai. Mengapa begitu? pernah ku katakan ini soal waktu, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, kau tetap diam disitu, mungkin memang mengecil, tapi bukan karna rasanya menciut, namun hatiku yang sudah lebih besar. Bukan kah pernah ku jelaskan, kamu punya tempat khusus disitu. Tak apalah, hanya aku dan kamu yang tahu, mungkin Tuhan juga.
Ku lihat kebelakang sekali lagi, jika memang ini semu, mengapa terasa nyata sampai ke relung, pernah juga aku menangis saat terbangun, dan ku ingat sekali lagi, batasan itu. Ah benci. Tapi pilihan tentang batasan sudah lama sekali untuk di bicarakan. Kamu memang tidak pernah benar benar mengakhiri, hanya aku yang memberi tahumu tentang batasan milikku, sampai saat ini aku seperti candu kepadamu?
Ku tegaskan lagi, jangan datang kemimpiku, hanya sekedar membuat ragu.
Peringatan keras. Namun, siapa kuasa atas aku ?
Bagaimana jika kita dari awal memang bagian?
Bukan, bukan utuh lalu menjadi sebagian
Tapi memang bagian
Menjadi porsi penuh seperti penantian
Mungkinkah ada harapan?
Bagaimana mungkin bisa menjadi utuh?
Dari awal saja bukan hal yang dibutuh
Relung hati penuh keluh
Namun nyatanya tak pernah penuh
Begitu memang menjadi bagian
Jika ia mengaku kesepian, mungkin tak ada yang mengira. Ia terlihat berjalan, bahkan mungkin berlari namun ia tau tujuannya sudah dicuri, ia menyebut dirinya baik-baik saja. Tapi ku lihat matanya memastikan, nampaknya ia berpura-pura. Ku lihat sekali lagi dimatanya, makin jelas ia butuh pelukan. Lalu terakhir ku lihat kembali dimatanya, ya, dia kesepian. Tak banyak yang tau, bahwa ia hancur dari segala sisi dirinya, ia tak pernah mengaku ataupun membagi kisahnya. Mungkin ia memang seperti itu, membangun sebuah rumah dihatinya jauh didalam sana, rumah yang sangat nyaman, sampai akhirnya ia membiarkan dirinya berada dalam kehangatan hatinya sendiri, menahan dinginnya di luar rumah. Tanpa ia pun tau, mungkin ada kehangatan lain di luar sana, tapi ia tetap tak mau meninggalkan kehangatan hatinya. Ia membisu, terdiam dan hanya memandang keluar jendela dari dalam rumahnya. Tak pelak ia akhirnya tenggelam dalam kesepian, yang tak ia sadari, ia buat sendiri.
Jika aku bertemu dengannya, perlukah aku menenangkannya? atau langsung ku peluk saja. Karna aku rasa ia cukup kedinginan, aku ingin memeluknya saja, tanpa harus ku tanya "perlukah ku peluk?". Ya, aku pun kedinginan.
Lalu ku periksa lagi, mungkin aku tadi mengatakan terakhir, tapi saat ku lihat lagi jauh ke dalam matanya ia menatap ku. Apa aku keliru?
Kesepian.
Ia kesepian, merasa kesepian. Kemudian aku bertanya "apakah kamu perlu istirahat?", tanpa perlu menanyakan apa ia baik-baik saja atau tidak. Aku lihat dari matanya.
Ia tak menjawab, hanya menatapku.